Home » » SINODE GMIH TIDAK KE MANA-MANA, TAPI ADA DI MANA-MANA

SINODE GMIH TIDAK KE MANA-MANA, TAPI ADA DI MANA-MANA

Oleh: Mesak Fanyiranana
Berita Radar Halmahera edisi Rabu, 29 Juli 2015, pada halaman terakhir menarik untuk diulas bersama. “PILKADA HALUT, GMIH NETRAL” demikian judul beritanya. Yang saya tahu selama ini baik PILKADA maupun PILEG, GMIH tidak pernah netral. Itu terbukti dengan adanya kasus perpecahan jemaat dan demonstrasi 5 Juli 2013. Kenapa pada Rabu, 29 Juli 2015 Radar Halmahera memunculkan berita tentang Pilkada Halut, GMIH mengambil sikap netral. Ternyata Rabu, 29 Juli 2015 adalah hari keramat bagi elit politik, batas waktu pendaftaran calon Bupati/Wakil Bupati ke KPU. Semoga berita tersebut bukan tindakan pencitraan BPH Sinode GMIH versi SSD. Yang menarik dari berita tersebut adalah kicauan Pdt. Demianus Ice, M.Th yakni: “Sinode GMIH tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana. Putusan Sidang Sinode Dorume menegaskan, pendeta dan gereja jangan berpolitik praktis”. Benarkah hasil Sidang Sinode Dorume menegaskan seperti itu??? Pendeta dan gereja jangan berpolitik praktis. Semoga saya tidak salah membaca kicauan tersebut.

Yang sangat menarik lagi dan membuat saya tersentuh adalah itu putusan Sidang Sinode Dorume. “Pendeta dan gereja jangan berpolitik praktis, itu putusan Sidang Sinode Dorume”. Semoga ini bukan kata-kata kamuflase. Kalau pendeta dan gereja jangan berpolitik praktis kenapa ada pendeta yang menjadi pengurus partai, menjadi tim sukses, menerima kedatangan AHM di Kantor Sinode, menyodorkan proposal ke AHM, menjadi bintang iklan kampanye AHM-DOA pada PILKADA 2013 Provinsi Malut, dan ada pendeta yang mencalonkan diri pada PILEG 2014???? Bahkan merekomendasikan orang-orang tertentu untuk maju sebagai Bupati/Wakil Bupati. Kalau para pendeta itu terlibat politik praktis apa sanksinya???? Kenapa Pdt. Demianus Ice, M.Th baru sekarang berkicau di media lokal soal hasil keputusan Sidang Sinode Dorume???

Dalam Pokok-pokok Pengajaran Iman GMIH (lihat Keputusan Persidangan Sinode XXVII GMIH No.: 11/Kpts/SS XXVII/2012 dan lampirannya) jelas hubungan gereja dan politik. Siapa yang berpolitik??? Jelas secara lembaga GMIH tidak boleh berpolitik praktis dalam artian mengurus partai politik. Pendeta yang memegang jabatan struktural sebaiknya tidak ikut-ikutan berpolitik praktis (mengurus partai, mencalonkan diri sebagai anggota legislativ, KPU, Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota, dan Gubernur/Wakil Gubernur). Bila ikut berpolitik praktis sebaiknya yang bersangkutan mundur dari jabatan struktural.

GMIH juga tidak melarang dan tidak juga menganjurkan kepada setiap warga gereja yang dewasa untuk memilih dan menjadi partisan/anggota/pengurus dari partai A atau B. Sebagai warga geraja yang hidup dalam negara demokratis, hendaknya masing-masing dengan kesadaran, iman dan hati nurani mempergunakan hak dan kewajiban politiknya sebagaimana diatur dalam peraturan atau undang-undang yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Bagi pendeta yang berpolitik praktis diatur dengan Peraturan No.: 4 Tentang Pelayan Khusus GMIH dan SK BPH Sinode GMIH Nomor 597 tentang Peraturan Keikutsertaan Pelayan Khusus GMIH dalam Proses KPU, Pemilu Legislatif, Pilkada Provinsi dan Kabupaten/Kota.

GMIH sebagai sebuah lembaga gerejawi harus berpolitik dalam artian ikut mengambil bagian dalam pembangunan masyarakat. Adalah dosa terbesar ketika GMIH mengunci pintu dan tidak mau mengambil pusing dengan kehidupan sosial-politik (demikian kata Pdt. Prof. James Haire). Itu berarti orientasi politik GMIH adalah bukan untuk merebut kekuasaan atau pemerintahan, tetapi politik moral (politik etik), karena itu merupakan manifesto politik Yesus. GMIH berpolitik dengan memperjuangkan tegaknya nilai-nilai keadilan, kebenaran, kesejahteraan, dan kemajuan peradaban dalam masyarakat.

Karena GMIH adalah gereja aliran Calvinisme, maka ajaran-ajaran Calvin perlu menjadi ciri khas dari GMIH itu sendiri. Dalam pandangan Calvin, politik identik dengan negara. Artinya, kalau GMIH berpolitik berarti GMIH menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah di dunia ini untuk mendatangkan “Shalom” baik secara rohani, jasmani, maupun materi. Dalam konteks pandangan Calvin tersebut, GMIH tidak terlibat dengan mendirikan partai politik, atau mendukung salah satu partai, atau mendukung salah satu kandidat dari partai tertentu. GMIH menyadari betul perannya sebagai hamba Allah dalam membina rohani umatnya. GMIH memiliki kedaulatan sendiri yang tidak boleh diintervensi siapa pun. Kedudukan GMIH dan negara sejajar di hadapan Allah dan tidak saling mencampuri.

Selain itu, jika pendetanya yang berpolitik praktis, maka baiknya ia melepaskan jabatan strukturalnya. Tidak diberi kewenangan melayani ibadah dan sakramen, supaya mimbar gereja tidak dipakai untuk kampanye. Memberlakukan SK Nomor 597 kepada yang bersangkutan. Serta menertibkan para pendeta yang mendukung pasangan calon Bupati/Wakil Bupati, agar tidak saling mempengaruhi dan lembaga gereja dimanfaatkan. Karena Pokok-pokok Pengajaran Iman GMIH menjamin kebebasan hak dan kewajiban politik seseorang.

Benar adanya apa yang dikicaukan Pdt. Demianus Ice, M.Th bahwa “.......pendeta dan gereja jangan berpolitik praktis. Itu putusan Sidang Sinode Dorume”. Pertanyaannya adalah kenapa baru sekarang dikicaukan, bukan sejak tahun 2012 pasca Sidang Sinode Dorume???? Kalau BPH Sinode GMIH waktu itu memahami dan menerapkan Pokok-pokok Pengajaran Iman GMIH dan peraturan terkait lainnya, sebagaimana yang telah saya ulas di atas, saya kira demonstrasi 5 Juli 2013 tidak akan terjadi. Kicauan “Sinode GMIH tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana” kiranya itu bukan kicauan politis. Sebagaimana kicauan awal di Pantai Kupa-Kupa dalam Rapat KOORWIL tahun 2012 “musim politik, musim panen bagi gereja” yang membawa GMIH pada lingkaran setan politik. Kicauan tersebut sama artinya dengan “Sinode GMIH tidak ke kandidat ini dan kandidat itu, tapi ada di kandidat ini dan kandidat itu”.

Sekiranya baik BPH Sinode GMIH versi SSD dan BPH Sinode GMIH versi SSI tidak mengeluarkan kicauan-kicauan politis yang membuka ruang kepada elit politik masuk ke dalam ranah gereja. Para elit gereja jangan lagi berselingkuh dengan elit politik yang pada akhirnya membuat gereja ini menjadi korban, dan kalian dapat duitnya. GMIH kiranya memiliki sikap politik sebagaimana yang diamanatkan dalam Pokok-pokok Pengajaran Iman GMIH dan ajaran-ajaran Calvinisme. Memahami betul hubungan gereja dan politik. Para pendetanya tidak lagi menjadi bintang iklan kampanye atau juru kampanye, juru bicara kandidat tertentu atau tim sukses dengan membawa-bawa jabatan pendeta. Para kandidat pun tidak sembarangan masuk kantor sinode, dan BPH Sinode pun tidak sembarangan menyodorkan proposal, atau tergiur dengan janji politik kandidat. Sebagai gereja (baca: GMIH dan pendetanya) politik kita adalah politik moral (politik etik) yang memperjuangkan keadilan, kebenaran, kesejahteraan dan kemajuan peradaban dalam masyarakat. Eirene Humin.

*Penulis adalah Kepala BUMG GMIH

Sumber : http://gmih.or.id/gmih_tidak_kemana.html

ARTIKEL TERKAIT

Copyright © 2017. PANITIA SIDANG SINODE GMIH XXVIII TAHUN 2017 - All Rights Reserved